Seputar Kesalahan di Bulan Ramadhan
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi terakhir beserta keluarga dan para sahabatnya.
Makalah ini merupakan kumpulan beberapa kesalahan yang menyebar di tengah-tengah kaum muslimin. Penulis harap makalah ini bisa menjadi peringatan bagi yang lupa dan lalai, serta nasehat bagi kalangan awam. Penulis sengaja menyusun makalah ini dengan ringkas. Kita memohon kepada Allah ta’ala agar menjadikan tulisan ini bermanfaat. Maha suci Allah, sebaik-baik dan seagung-agung Dzat yang dimintai dan ditujukan harapan.
Berikut ini beberapa kesalahan tersebut:
[1]. Tidak mengerjakan shalat, kecuali (hanya -ed) di Bulan Ramadhan.
Ini merupakan kesalahan paling fatal dan dosa paling buruk. Barangsiapa meninggalkan shalat setelah bulan Ramadhan, berarti telah menghancurkan bangunannya dan menguraikan benang yang sudah dipintal dengan kuat. Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا
Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali. (Qs. an-Nahl: 92)
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
(Batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim)
Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam juga bersabda:
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
Perjanjian antara kami (kaum muslimin) dan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya, ia telah kafir. (HR. at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Namun, sungguh mengherankan, ada yang berpuasa, tetapi tidak shalat. Padahal, orang yang tidak shalat tidak mendapat kewajiban berpuasa. Mengapa? Ini karena dia kafir, sebagaimana dalam hadits di atas, juga sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa syarat (diterimanya-ed) seluruh ibadah adalah Islam.
[2]. Lalai dari tujuan utama puasa dan hikmah-hikmahnya.
Puasa memiliki maksud dan tujuan, di antaranya adalah apa yang disebutkan Allah ta’ala dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Qs. al-Baqarah: 183)
Tujuan puasa adalah ketakwaan, bukan hanya sekedar menahan diri dari makanan, minuman dan nafsu, karena Allah ta’ala tidak butuh puasa seperti ini, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan keji dan dusta, serta melakukannya, Allah tidak butuh dengan puasanya. (HR. al-Bukhari)
Bahkan puasa yang benar dapat mencegah perbuatan maksiat, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ
Puasa bagaikan perisai, janganlah berkata keji dan kotor dengan berbuat jahil… (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Terkadang Anda melihat sebagian orang berpuasa, tetapi tidak meninggalkan perbuatan haram, seperti kedzaliman, permusuhan, hasad, dengki, ghibah dan namimah (menggunjing orang dan mengadu domba), serta perkataan jorok dan kotor.
Di antara tujuan puasa:
a. Meraih pahala yang besar dan memperoleh ganjaran yang banyak, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits qudsi, bahwa Allah berfirman:
الصِّيَامُ لِي، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ
Puasa itu untuk-Ku. Aku yang akan memberikannya pahala. (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Ini menunjukkan besarnya pemberian, karena Allah yang Maha Mulia, apabila menyatakan “Aku yang memberikannya secara langsung”, menunjukkan besarnya pemberian.
b. Penghapus dosa. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, niscaya dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. (HR. Muttafaqun ‘alaih)
c. Membiasakan taat kepada perintah Allah ta’ala, dan perintah Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam dan berlatih meninggalkan hal-hal yang disukai untuk meraih ridha Allah ta’ala.
Hikmah puasa:
1. Merasakan sakitnya lapar dan haus. Dengan ini, kita menjadi tidak melupakan fakir miskin.
2. Mempersempit ruang gerak setan, karena setan bergerak pada aliran darah manusia, sebagaimana yang pernah disampaikan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bahwa apabila seorang hamba berpuasa, urat-uratnya akan mempersempit gerak setan sehingga pengaruh dan bisikannya menjadi lemah.
Laa ilaaha illallah, betapa banyak hikmah dan rahasia di balik puasa yang kita lalaikan. Segala puji bagi Allah yang mensyariatkannya sebagai rahmat bagi hamba-hambanya, sebagai perbuatan baik bagi mereka, dan sebagai pelindung dari keburukan.
[3]. Memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah, dengan berbagai amalan seperti sedekah, shalat, mengaji dan berbagai macam ketaatan lainnya di bulan Ramadhan, tetapi dia jauh dari semua itu pada selain bulan Ramadhan.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (Qs. al-Baqarah: 21)
Dan sebagaimana Nabi Isa ‘alahi sallam berkata:
وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا
Dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup. (Qs. Maryam: 31)
Dan Allah berfirman:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (Qs. al-Hijr: 99)
Sebagian salaf berkata: Sejelek-jelek kaum adalah yang tidak mengenal Allah kecuali di bulan Ramadhan.
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
أَحَبُّ اْلأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus walaupun sedikit. (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Sebagian orang antusias dalam ketaatan pada permulaan bulan, kemudian melemah dipertengahan atau akhir bulan.
[4]. Berpaling dari mempelajari hukum-hukum puasa, adab, syarat dan pembatal-pembatalnya, dengan tidak menghadiri majlis-majlis ta’lim, tidak bertanya tentang masalah puasa. Dalam hal ini, dia berpuasa dalam keadaan jahil (bodoh-ed), atau mungkin melakukan perbuatan yang dapat membatalkan puasanya, sedangkan dia tidak mengetahuinya.
Allah ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui. (Qs. an-Nahl: 43)
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan amalan yang tidak didasari perintah kami, amalan tersebut tertolak. (HR. Muslim)
Dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu adalah kewajban bagi setiap muslim. (HR. al-Baihaqi)
[5]. Menyia-nyiakan waktu puasa dan malam harinya dengan sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan terkadang dengan sesuatu yang haram atau membahayakan.
Sebagian orang banyak tidur di siang hari dan tidaklah bangun kecuali menjelang berbuka puasa. Padahal, barangsiapa banyak tidur, dia terluput dari berbagai macam kebaikan. Sebagian lainnya, menghabiskan waktunya dengan menonton sinetron dan telenovela yang di dalamnya banyak wanita yang bertabarruj serta pemandangan yang menyelisihi adab dan syariat. Yang lainnya lagi, tidak meninggalkan berbagai pertandingan dan permainan bahkan mungkin saling bertaruhan sehingga termasuk judi yang diharamkan. Ada pula yang begadang dengan bermain kartu atau ngobrol yang tidak bermanfaat sehingga terjatuh pada sesuatu yang haram seperti ucapan kotor, ghibah dan namimah. Ada juga yang begadang dengan bernyanyi mempergunakan alat musik di bulan Qur’an! Yang lainnya, ada yang mondar-mandir di mall-mall atau jalanan. Di sisi lain, tidak sedikit ditemui banyak wanita tidur sampai siang hari kemudian bangun mengerjakan tugas rumah dan dapur sampai maghrib kemudian setelah berbuka puasa sibuk mendatangi dan duduk-duduk di mall-mall sampai larut malam.
Apa yang mereka ambil dari kebaikan bulan Ramadhan?
Apa yang mereka peroleh dari waktu-waktunya?
Di mana mereka dari petunjuk Rasulullah di bulan yang penuh berkah ini?
Padahal, beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersungguh-sungguh beribadah di bulan ini, melebihi kesungguhan beliau di bulan-bulan lainnya. Malaikat Jibril ‘alahi sallam memuroja’ahkan al-Qur`an kepada beliau setiap malam. Beliau beri’tikaf di masjid dan berpaling dari urusan dunia pada sepuluh hari terakhir dan sangat dermawan di bulan ini, serta menguatkan kaum muslimin untuk mengasihi para janda dan anak yatim, menyambung silaturrahim, memuliakan tetangga dan berbagai macam ketaatan lainnya.
Demikianlah seorang muslim hendaknya meneladani Rasulnya shallallahu ‘alahi wa sallam, sehingga memperbanyak membaca al-Qur’an, mentadabburi maknanya dan membaca tafsirnya, karena tidaklah cukup seorang yang telah baligh dan mukallaf itu hanya sekadar membaca tanpa mengetahui maknanya. Antusiaslah dalam mengikuti pelajaran dan majlis al-Qur’an dan al-Hadits! Dengarkanlah kaset yang bermanfaat! Bacalah kitab-kitab fiqih dan hadits! Bersungguh-sungguhlah dalam amal shalih, kebaikan dan ketakwaan! Ini bukan hanya sekadar di bulan Ramadhan. Akan tetapi, di bulan Ramadhan ini hendaknya seorang mukmin memperbanyak amalannya.
[6]. Memperbanyak makanan dan minuman serta berlebih-lebihan dengan beraneka ragam jenis makanan yang dapat menyebabkan seseorang menjadi kurang baik pencernaannya sehingga merasa berat untuk beribadah dan malas shalat dan membaca Al-Qur’an.
Ada yang mengatakan bahwa barangsiapa makan, minum dan tidurnya banyak, dia luput dari berbagai macam kebaikan. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
مَا مَلأَ ابْنُ آدَمَ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسَبِ ابْنِ آدَمَ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ فَاعِلاً فَثُلُثُ لِطَعَامِهِ وَثُلُثُ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
Tidak ada tempat paling buruk yang dipenuhi isinya oleh manusia kecuali perutnya, karena sebenarnya cukup baginya beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Kalaupun dia ingin makan, hendaknya ia atur dengan cara sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga lagi untuk nafasnya. (HR. Ahmad, an-Nasa`i dan at-Tirmidzi) [Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 2265]
Sebagian salaf berkata, “Allah menggabungkan seluruh kesehatan pada separuh ayat yaitu firman Allah ta’ala:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا
Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. (Qs. Al-A’raf: 31)
Barangsiapa berlebih-lebihan dalam makan dan minum, dia telah lalai dari salah satu hikmah puasa yaitu menghindarkan tubuh dari pengaruh makanan dan minuman yang bisa memberatkan tubuh.
[7]. Meng-awalkan waktu sahur dan meng-akhirkan berbuka puasa.
Ini menyelisihi apa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, yang beliau ini selalu mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka. Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفُطُوْرُ
Manusia senantiasa dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka. (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam mengkabarkan bahwa mengakhirkan berbuka adalah perbuatan Yahudi. Ketika menyemangati kaum muslimin untuk menyegerakan berbuka, beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ الْيَهُوْدَ يُؤَخِّرُوْنَ
Sesungguhnya orang-orang Yahudi selalu mengakhirkan (berbuka puasa). (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih)
Adapun mengakhirkan sahur adalah sunnah, sebagaimana dalam hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, (beliau) berkata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ . قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَالسَّحُوْرِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيَةً
Kami sahur bersama Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, kemudian beliau bangkit menuju shalat, aku bertanya, ‘Berapa jarak waktu antara adzan dan sahur?’ Dia menjawab, ‘Kira-kira lima puluh ayat.’ (HR. al-Bukhari)
Ada sebagian orang yang meninggalkan sahur dan makan ditengah malam. Hal ini sesungguhnya tidak sesuai dengan sunnah. Dari Abi Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
السُّحُورُ كُلُّهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ
Sahur itu penuh dengan barakah. Maka, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya dengan seteguk air, (karena) sesungguhnya Allah dan para malaikatnya bershalawat kepada orang-orang yang sahur. (HR. Ahmad dengan sanad hasan)
[8]. Berpaling dari Memahami dan Mentadabburi Al-Qur’an.
Kebanyakan kaum muslimin membaca al-Qur’an dengan tidak memahami apa yang mereka baca. Bahkan, ketika terlintas hukum-hukum syar’iyah, dalil-dalil Qur’aniyyah, nasehat-nasehat yang agung dan perumpamaan-perumpamaan yang jelas, dia tidak mengetahui apa yang melintasinya. Dia tidak pula mengetahui makna kitab Allah yang turun kepadanya. Allah ta’ala berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat petunjuk. (Qs. Shad: 29)
Allah ta’ala mencela orang-orang yang berpaling dari mentadabburi al-Qur’an dalam firman-Nya:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka, apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an, ataukah hati mereka terkunci? (Qs. Muhammad: 24)
Allah ta’ala berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Apakah mereka tidak menghayati Al-Qur’an? Seandainya ( Al-Qur’an) itu bukan dari sisi Allah, pastilah mereka mendapat banyak hal yang bertentangan di dalamnya. (Qs. an-Nisa’: 82)
Allah ta’ala mengabarkan bahwasanya ini merupakan sifat kebanyakan orang Yahudi, Allah ta’ala berfirman:
وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلَّا أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga. (Qs. al-Baqarah: 78)
Abu Ja’far Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Maksud firman-Nya ( لا يعلمون الكتاب ) adalah tidak mengetahui apa-apa yang ada di dalam kitab yang diturunkan oleh Allah, dan tidak mengetahui apa-apa yang Allah tetapkan dari batasan, hukum dan kewajiban seperti kondisi para binatang.”
Abu Abdirrahman as-Sulami berkata, “Orang-orang yang membacakan Al-Qur’an kepada kami telah memberitakan bahwasanya apabila mereka mempelajari sepuluh ayat, mereka tidak melanjutkannya sampai mengetahui kandungan ilmu lalu mengamalkannya”. Beliau berkata, “Kami mempelajari al-Qur’an, ilmu dan mengamalkannya.”
[9]. Kebanyakan orang tua melalaikan anak-anaknya.
Mereka tidak menganjurkan anak-anaknya berpuasa dengan berdalih mereka masih kecil, masih belum mampu berpuasa. Perbuatan ini menyelisihi salaf as-shalih dari kalangan para sahabat dan setelahnya. Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ar-Rabi’ binti Mu’awidz berkata:
فَكُنَّا نَصُوْمُهُ بَعْدُ، وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا، وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ، حَتَّى يَكُوْنَ عِنْدَ اْلإِفْطَارِ
Kami berpuasa dan memerintahkan anak-anak kecil kami berpuasa. Kami membuatkan mereka mainan dari bulu. Maka, apabila mereka menangis karena lapar, kami berikan mainan itu kepadanya, sampai tiba waktu berbuka.
Dalam riwayat Muslim:
فَإِذَا سَأَلُوْا الطَّعَامَ أَعْطَيْنَاهُمُ اللُّعْبَةَ تُلْهِيْهِمْ حَتَّى يُتِمُّوْا صَوْمَهُمْ
Apabila mereka meminta makan, kami berikan mainan yang dapat menyibukkannya sehingga mereka dapat menyempurnakan puasanya.
Maksudnya: Mereka membiasakan anak-anaknya berpuasa dan menyibukkan anak-anaknya dengan mainan dari bulu. Mereka melakukan hal itu sebagai upaya melatih anak-anak mereka untuk berpuasa. Anak kecil tidak disyaratkan berpuasa sehari penuh karena belum wajib. Akan tetapi, hendaknya orang tua membiasakan mereka berpuasa sesuai kemampuannya.
[10]. Dan semisal no.9: Sebagian wanita telah hHaidh di usia dini; sepuluh atau sebelas tahun, tetapi orang tuanya tidak memerintahkannya berpuasa dan beremehkan hal ini.
Ini merupakan kelalaian terhadap hukum-hukum syariat, karena haidh merupakan tanda-tanda baligh. Di saat wanita itu mulai haidh, di saat itulah ia mulai baligh. Telah berlaku baginya pena kebaikan dan kejahatan, serta wajib untuk melaksanakan ibadah.
Tanda-tanda baligh:
a. Keluar air mani karena mimpi atau yang lainnya.
b. Tumbuhnya bulu kemaluan.
c. Mencapai usia lima belas tahun.
d. Haidh bagi wanita.
Jika salah satu tanda di atas terdapat pada seseorang, ia telah menjadi mukallaf (diberi beban syariat -ed).
[11]. Melafazhkan niat Puasa.
Ini tidak memiliki asal dari sunnah yang suci, bahkan termasuk bid’ah yang diada-adakan. Niat merupakan salah satu syarat sahnya ibadah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya tergantung pada niat. (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Akan tetapi, niat itu tempatnya di hati sehingga cukup seseorang itu bangun untuk makan sahur, atau bertekad untuk berpuasa sebelum tidur, atau yang semisalnya (tanpa perlu melafadzkan niat di lisan-ed). Pada asalnya, niat ini berlaku selama satu bulan penuh, kecuali bagi orang yang berniat untuk berbuka karena dalam kondisi sakit atau safar. Dalam kedua kondisi tersebut, ia perlu memperbarui niat tatkala hendak berpuasa kembali.
**Dari Majalah Ommaty, Edisi 37 Ramadhan 1428 H
***
Oleh Syaikh Muhammad al-Hamud an-Najdi
Penerjemah: Ustadz Abu Ahmad Fuad Baraba’, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Artikel asli: https://muslim.or.id/1322-seputar-kesalahan-di-bulan-ramadhan.html